Leni melirik ke samping kirinya. Masih ada banyak merchandise yang harus dia iklankan lewat video live Tiktok dan Shopee. Sebagian besar adalah baju muslim dan kue-kue buatannya sendiri. Istri seorang ustad itu memang serba bisa ditunjang lagi dengan kemauannya mempelajari hal-hal baru. Jadilah selain jago urusan dapur dan menjahit, dia juga jago membuat konten video.Yah, meskipun hal yangterakhir dia lakukan dengan diam-diam karena suaminya tidak menyukai dan menyangka Leni mejajajakan produksinya hanya lewat jaringan pengajian sang suami.
Namun, jam di dinding studio mini yang Leni gunakan menunjukkan hampir pukul dua dini hari. Dia memang memilih untuk live dari pukul sembilan malam atau paling tidak setelah kedua anaknya telah tidur. Dengan begitu dia bisa tenang membuat konten tanpa harus terganggu oleh kedua anaknya. Juga sang suami pun lebih sering bepergian dalam syiar ke luar kota sampai berminggu-minggu, jadilah Leni memanfaatkan keadaan itu semaksimal mungkin.
“Break dulu ya, Teman-teman. DM aja kalau mau nanya-nanya pesan, nanti Ana bantu. Tapi slowres ya, mau Tahajud sama istirahat sebentar nungguin Subuh. Terima kasih sudah menemani Ana. Assalamualaikum!” kata Leni menutup sesi kali itu. Usai mematikan peralatan shooting-nya, dia melepas cadar dan jilbab panjangnya. Usai melepas penat dan minum, dia solat tahajud dan tidur sampai azan Subuh berkumandang. Setelahnya dia berkutat dengan kewajiban untuk mengurus kedua anaknya yang akan sekolah.
Setelah dia kembali dari mengantar kedua anaknya, hal pertama yang dia lakukan adalah memeriksa kun Tiktok dan Shopee-nya. Seperti biasa, ada banyak sekali pesan masuk yang dia terima. Mungkin rata-rata pesan yang dia terima per hari mencapai seratusan hampir dua ratus per akun. Di antara seratusan pesan itu, hanya sebagian kecil yang berkaitan dengan pemesanan atau produknya. Sisanya yang lebih banyak hanyalah berisi pesan-pesan tidak senonoh. Leni yang sekarang sudah mulai terbiasa dengan pesan-pesan itu. Dia tetap membuka satu persatu pesan sambil berharap ada yang memesan produknya.
Biasanya hanya ada sekitar beberapa belas pesanan dengan nilai transaksi yang mencapai sekitar dua ratus ribuan setelah dipotong ini itu. Cukup lumayan untuk seorang Leni yang baru saja menggeluti dunia video konten marketing setahunan ini. Penghasilannya cukup untuk dia dan kedua anaknya karena hampir mustahil mengharapkan jatah bulanan sang suami. Sayangnya dia harus berhentilive bila sang suami pulang. Bisa dua mingguan Leni kehilangan penghasilan sampai sang suami berangkat lagi.
“Kak, kalau aku belanja sejuta, boleh request bonus?”
Sebuah pesan dibuka dan dibaca oleh Leni. Lengkap dengan barisan angka yang dibagi menjadi empat baris dan bila disatukan akan membentuk sebuah nomor telepon. Tanpa berpikir panjang, langsung Leni menghubungi nomor tersebut lewat pesan Whatsapp.
“Assalamualaikum, saya admin CeanCo. Afwan, Kakak yang DM minta bonus untuk belanja sejutakah?”
Hanya perlu sekian detik pesan Leni dibaca dan sekian detik lagi untuk mendapat balasan. Selain itu, foto profil orang itu tiba-tiba juga muncul yang artinya nomor Leni telah disimpan. Foto profil itu menampilkan seorang wajah seorang pria China tampan yang sedang tersenyum.
“Iya, Kak. Bener. Waaah, gercep banget responnya. Keren!”
Leni tersipu malu mendapatkan pujian yang jarang dia terima meskipun dari sang suami. Dia terdidik untuk tidak mengharap apa pun dari sang suami beberapa tahun ini. Kasarnya, diam tidak merepotkan saja sudah menjadi berkah buat Leni. Pernikahan ternyata tidak seindah bayangannya.
“Kakak maunya bonus apa?” tanya Leni setelah berhasil menguasai diri akibat pujian itu.
“Mau foto wajah Kakak,” balas si orang itu membuat Leni terkesiap.
“Maksud Kakak, saya kirim foto wajah saya lewat WA ini?” tanya Leni kebingungan. Barukali ini dia mendapatkan permintaan seaneh itu.
“Iya. Aku minta nomer rekening Kakak, setelah kukirim sejuta Kakak kirimin foto wajah Kakak. Lalu nanti aku pilih belanjaannya dan kirim alamat tujuan,” jawab si pemesan panjang lebar.
Antara percaya dan tidak, Leni memutuskan untuk mengirimkan nomor rekening kepada si pemesan. Beberapa menit kemudian sebuah pemberitahuan muncul di ponselnya, memberiahukan ada transaksi masuk ke dalam rekeningnya. Sejuta seratus ribu lebih sebelas perak, sesuai nominal yang diajukannya agar tahu siapa yang bertransaksi. Seratus ribunya adalah biaya kirim yang mereka sepakati.
“Sudah masuk ya, Kak,” kata si pemesan lewat pesan Whatsapp lengkap dengan bukti transfer.
Leni terkesiap. Transaksi ini jauh lebih mudah dari pada yang dia bayangkan. Si pemesan sudah mentransfer tidak seperti dugaannya, sehingga kini bola panas ada padanya. Jelas Leni amat melindungi privasinya dengan bercadar, tetapi dia tidak mungkin mengingkari janji.
“Kak, afwan. Kalau diganti bonus lainnya saja bersediakah?” tanya Leni mencoba bernegosiasi. Rasanya dia tidak sanggup memenuhi permintaan sepele itu karena keyakinannya.
“Kok gitu, Kak? Kan kita udah deal,” jawab si pemesan.
“Ya udah deh, saya kembalikan saja. Saya gak berani umbar aurat,Kak,” kata Leni putus asa.
“Eh, jangan! Saya tambahin deh, di luar belanja. Setengah juta, deal?” tukas si pemesan berusaha mempertahankan transaksi.
“Lima ratus ribu? Kak, itu berlebihan banget,” kata Leni tidak mempercayai apa yang dia baca. “Lagian buat apa sih foto saya? Belum tentu juga wajah saya sesuai dengan apa yang Kakak bayangkan.”
“Ya gak apa-apa seandainya gak sesuai. Namanya juga hidup, gak selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan meski udah bayar juga,” jawab si pemesan.
Jawaban itu membuat Leni penasaran dengan si pemesan, seperti apa orang itu. Mungkin kaya sekali sehingga hanya untuk melihat wajahnya saja sampai berani membayar mahal. Namun, bukan itu yang membuat Leni penasaran, melainkan bagaimana kepribadiannya. Terkesan santai, tetapi serius. Sekilas juga pandai bertutur kata dan menguasai cara berkomunikasi yang baik, terlihat dari responnya atas penolakan Leni meskipun sudah dibayar.
“Terus andai sesuai harapan, terus fotonya buat apa?” tanya Leni lagi.
“Coli,” balas si pemesan tanpa jeda seolah sudah memperkirakan Leni akan menanyakan itu.
“Coli? Apa itu?” tanya Leni keheranan dibalas dengan emoji ngakak oleh si pemesan.
“Masturbasi. Onani,” jawab si pemesan lagi tanpa ragu.
Jawaban itu membuat Leni seperti mendengar petir di siang bolong yang terang. Membayangkan wajahnya dijadikan alat bantu untuk menyalurkan syahwat, membuatnya merinding sampai dia tidak sanggup untuk membalas. Kata itu berulang-ulang menggema di dalam kepalanya seolah betah menetap dan tidak mau pergi.
Leni memalingkan wajah ke arah cermin besar di meja rias tepat di depan ranjangnya. Dia tidak bisa memutuskan apakah wajahnya cantik atau tidak. Dia hanya tahu bibirnya tipis berwarna merah muda meski tanpa dipulas. Hidungnya runcing melewati bibirnya. Sedangkan matanya sedikit sipit. Kulit wajahnya putih bagai pualam dengan rona kemerahan pada pipi.
Dia penasaran, apakah foto wajahnya layak dihargai uang sebanyak itu? Lebih dari itu, dia juga penasaran apakah wajahnya cukup cantik untuk dijadikan bahan masturbasi Joseph.
Seketika saja dia merindukan sang suami yang cukup lama tidak memberinya nafkah batin. Vaginanya berdenyut-denyut mengirimkan sinyal gatal yang menuntut garukan penis. Sedangkan pucuk puting payudaranya menjadi begitu sensitif ketika bergesekan dengan kain beha dan juga mengirimkan sinyal birahi.
Sekuat tenaga Leni berusaha mengenyahkan birahinya. Seingatnya hari ini sang suami akan pulang. Semoga, bisiknya, penis sang suami dapat meredakan desakan syahwatnya yang membuncah.
Sebuah notifikasi Whatsapp membuyarkan lamunannya. Matanya membaca pesan dari sang suami yang rencananya akan pulang hari ini.
“Assalamualaikum. Abi gak jadi pulang hari ini.”
Leni terhenyak membaca pesan yang pendek, lugas, dan tanpa basa basi itu. Bukan karena ketidakpulangan sang suami, melainkan karena hal itu berarti uang belanja belum akan dia terima. Sedangkan meminta ditransfer juga tidak akan ada gunanya karena sang suami tidak memiliki rekening bank akibat membenci sistem bank sekali pun syariah.
Seketika migrain Leni kambuh. Dia letakkan ponselnya dan merebahkan diri di ranjang. Setiap kali mengingat jumlah uang di dompet dan rekening bank-nya, sakit kepala yang dia rasakan semakin menyakitkan. Tanpa sadar, Leni terlelap, menyerah kepada dera sakit di kepalanya.