Adik Ipar Lebih Perkasa Dari Pada Suamiku

Cerita dewasa jenis ini tentu saja hanya diperuntukkan bagi orang dewasa karena umumnya ceritanya bisa seputar percintaan yang mengandung unsur sensualitas orang dewasa.

“Malam ini kamu kuat banget, Gas.”

Pria berkumis serta berjambang tipis itu menoleh seraya tersenyum.

“Kamu suka ‘kan, Mbak?” sahutnya, mengerlingkan sebelah mata, menggodaku.

Ini adalah malam ketiga aku dan Bagas saling berbagi. Ya, berbagi sesuatu yang seharusnya tidak kami lakukan.

Aku tahu ini dosa, tapi mau bagaimana lagi. Aku menikmati setiap sen#tuh#an dari adik iparku itu. Sentuhannya membuatku candu dan ingin terus melakukan lagi dan lagi. Apalagi Mas Damar sering pergi ke luar kota untuk urusan kerja, sedangkan aku di rumah butuh belaian.

Semua berawal saat Bagas mulai menginap di rumah ini untuk magang di kantor Mas Damar. Sebagai seorang adik, tentu sang kakak menginginkan adiknya mendapatkan pekerjaan yang layak sama seperti dirinya.

“Nanti tinggallah di rumah Mas, Gas. Temani Mbak Dewi, karena dia hanya sendiri di rumah ini. Apalagi Mas sering pergi ke luar kota,” kata Mas Damar saat kami berkunjung ke rumah mertua.

Aku dan Mas Damar sama-sama perantau di kota Jakarta. Aku dari kota Magelang dan Mas Damar dari kabupaten Magelang. Kami dipertemukan di sebuah perusahaan. Aku sebagai OB dan Mas Damar sebagai karyawan kantor. Perbedaan yang sangat mencolok di antara kami tak membuat gentar Mas Damar menikahiku. Pria itu begitu tulus mencintaiku sebagai istrinya. Tak memandang status kami yang berbeda.

“Tapi, Dam, nggak ilok nek adekmu ming nang ngomah mbek Dewi.” Samar-samar aku mendengar ibu mertua tak setuju dengan usul Mas Damar pagi tadi.

“Mbok, Bagas niku mpon ageng. Sampun paham ingkang becik lan mboten. Terus Mbok, iku Bagas supoyo isoh sinambi kuliah. Mengko Damar seng nambahi biaya nek Bagas purun. Ben mbesok uripe Bagas iku kepenak. Golek gawean yo gampang.” Mas Damar menepuk bahu ibunya, mencoba membuatnya yakin jika semua akan baik-baik saja.

“Yo wes lah nek kowe yakin Le, Mboke yo ra isoh apa-apa. Isohe Mboke mung ndongakne seng apik- apik ge keluargamu. Mugo-mugo Bagas isoh dipercaya.”

“Amin, Mbok,” jawab Mas Damar tersenyum.

Namun, pada kenyataannya aku pun ikut berkhianat. Kadang merasa bersalah, tetapi mau gimana lagi. Aku nyaman dengan keadaan ini.

Setelah Mas Damar membujuk ibunya. Sore hari kami kembali ke Jakarta bersama dengan Bagas. Pria itu diminta tidur di kamar sebelah kami.

Awalnya aku tidak setuju Bagas tidur di samping kamar pribadi kami, aku takut jika Bagas bakal mendengar apa yang aku dan Mas Damar lakukan karena hanya terbatas tembok saja . Namun, Mas Damar tak menggubris. Katanya kalau tidur di kamar dekat dapur kasihan. Padahal di sana juga kamarnya bagus, bukan kamar spek pembantu. Sebab, ada kamar khusus untuk pelayan rumah, letaknya ada di belakang dapur.

Dua hari sudah Bagas tinggal di sini. Dan pagi ini Mas Damar kembali pergi ke Bandung bersama bosnya untuk meninjau proyek mereka dan akan kembali 3 hari lagi.

“Dam, Mas titip Mbak Dewi ya. Kalau dia butuh apa-apa tolong bantuin,” pesan Mas Damar sebelum dia pergi.

“Iya, Mas, siap,” jawab Bagas begitu semangat.

“Sayang, Mas berangkat dulu ya,” pamitnya dan seperti biasa mengecup kening, berpelukan dan mencium kedua pipiku sebelum pergi.

Ternyata adegan kami menjadi tontonan bagi Bagas. Saat aku kembali masuk rumah setelah mengantar Mas Damar di teras. Bagas senyam-senyum melihatku. Awalnya aku risih dengan sikapnya, tetapi aku mencoba bersikap biasa saja. Aku menganggap itu wajar karena dia adalah adik iparku.

“Mbak butuh bantuan?” tawarnya saat aku bersiap menjemur pakaian.

“Nggak usah, Mbak bisa sendiri kok,” jawabku langsung menghindar dari Bagas. Tatapan matanya membuatku takut.

Ia sering curi-curi pandang saat aku beraktivitas. Kadang saat aku duduk di depan televisi. Bagas terus saja memandang tiada henti dan sesekali tersenyum aneh.

Aku sempat cerita pada Mas Damar soal Bagas yang terlihat aneh, tetapi dia menjawab jika adiknya itu memang murah senyum. Alhasil, aku tak lagi mengadu soal tingkah Bagas. Aku mencoba bersikap biasa saja, meski sebenarnya aku takut.

Dan malam itu, setelah kepergian Mas Damar ke Bandung lagi. Hujan petir disertai angin membuatku takut. Apalagi mati lampu sejak sore hari, menjadikan suasana semakin mencekam.

“Mbak,” panggil Bagas dan aku hanya diam, bersembunyi di balik selimut.

Karena aku tak kunjung keluar kamar. Bagas pun masuk ke dalam kamar tanpa permisi. Dengan bantuan cahaya senter dari ponsel, Bagas berhasil sampai di samping tempat tidurku.

“Mbak, makan dulu yuk,” ajaknya dan aku tetap diam. Berpura-pura tertidur karena saat ini aku benar-benar ketakutan. Takut akan gelap dan hal lainnya yang akan menimpa diriku.

“Mbak.” Bagas membuka selimutku dan tiba-tiba ….

“Kamu mau apa, Gas?” tanyaku gemetar saat dengan lancang tangan Bagas menyentuh tengkukku dan menyibakkan rambut tanpa ijin.

“Eh, Mbak,” jawabnya tampak kikuk dengan tingkahnya barusan.

Gegas aku terbangun dan terduduk. Selimut kutarik untuk menutupi tubuh. Apalagi kini aku hanya mengenakan daster, karena malam ini Mas Damar akan pulang, tetapi ternyata diundur besok dan aku belum sempat ganti baju.

“Kamu ngapain masuk ke kamar, Mbak?” tanyaku beringsut mundur hingga membentur tembok.

“Aku cuma mau ajak Mbak buat makan. Soalnya semua lauk sudah aku panaskan,” jawabnya menatapku tiada henti. Meski hanya bermodal senter ponsel, tetapi manik mata Bagas terlihat jelas mengarah padaku.

“Ya udah kamu keluar dulu, nanti Mbak menyusul,” kataku dan pria itu pun patuh.

Setelah Bagas keluar, aku segera bangkit dan bersiap ganti baju. Menutup rapat-rapat pintu untuk antisipasi. Namun ternyata, Bagas kembali masuk dan langsung membungkam mulutku.

“Diam, Mbak, di luar ada yang bisik-bisik,” katanya terus membungkam mulutku.

Bener saja jika di luar ada suara seperti orang berbincang-bincang. Tubuhku seketika bergetar hebat kala suara orang berbicara itu berada di dekat jendela kamar ini.

“Halo Pak, sudah sampai gang 5 ya. Ok saya tunggu,” ucap Bagas membuat mereka langsung pergi meninggalkan rumah ini.

“Huft, aman,” imbuhnya setelah kepergian orang tak dikenal tadi.

Saat ini pula posisiku dan Bagas saling berhadapan dengan kedua tanganku memeluk tubuhnya. Aku mendongak, membuat wajah kami hampir sejajar.

“Eh maaf,” kataku langsung melepaskan pelukan, tetapi Bagas malah menarik kembali.

“Aku menyukaimu, Mbak,” ujarnya membuatku terbelalak.

“Lepasin, Gas, kamu sudah gila,” kataku berusaha melepaskan pelukan tetapi hasilnya nihil.

“Aku nggak akan melepaskan, Mbak. Aku juga ingin seperti Mas Damar. Mendengar suara erangan nikmat dari mulutmu!” Suara Bagas terdengar menakutkan dan berhasil membuat seluruh buluku berdiri.

Aku berusaha berontak, tetapi tenaga Bagas lebih kuat. Tanpa aba-aba, Bagas mendorong tubuhku hingga kami ambruk bersama di atas tempat tidur.

Malam itu, kehormatanku direnggut oleh adik iparku sendiri. Tangis penyesalan terus menderai. Aku telah mengkhianati Mas Damar. Aku adalah seorang wanita hina!.

“Aku mencintaimu, Mbak, jika nanti Mas Damar sudah tak sudi lagi, aku siap menjadi penggantinya,” ucap Bagas seraya mengusap air mataku.

Aku hanya diam tanpa kata, yang ada dalam otakku adalah bagaimana jika Mas Damar tahu aku telah berbagi ranjang dengan adiknya. Masihkah dia akan mencintaiku dengan tulus dan memperlakukan aku layaknya ratu?

Pagi ini, tiba-tiba ada suara pintu diketuk. Apakah itu Mas Damar?

Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Di mana Bagas masih terlelap di kamar ini.***